study hard :D

Rabu, 23 Maret 2011

Infotainment dan Kode Etik

Saat ini telah berkembang jenis pemberitaan yang diselimuti hiburan mengenai tokoh terkenal yang sering kita sebut Selebritis. Pemberitaan jenis itu akrab kita dengar dengan nama Infotainment. Infotainment yang berasal dari kata Informasi dan Entertainment memang lebih mengedepankan isu dan kehebohan semata. Masyarakat yang dengan sengaja disuguhi informasi jenis ini mau tidak mau akan merasa ingin tahu dan terus mengonsumsi berita tentang Selebritis. Pada hakikatnya, berita yang layak dikonsumsi harus memiliki News Value atau Nilai Berita. Sejauh ini, news value atas Infotainment kerap dipertanyakan sehingga tak heran jika penayangannya menuai protes dari berbagai pihak.
Kita ingat kembali bagaimana kasus penayangan infotainment yang kerap membahas perceraian dan kejelekan tokoh terkenal. Majelis Ulama Indonesia Pusat yang dikutip oktavita.com menyatakan bahwa tayangan infotainment yang berisi ghibah (berita yang tidak benar) layak diharamkan karena menceritakan aib seseorang, pemberitaan yang mengobral rahasia keluarga, serta mengaduk-aduk hubungan antar anggota keluarga itu dilarang agama dan haram hukumnya. Karena hal tersebut sama sekali tidak menjadi bagian dari kebebasan dan demokrasi, namun menjadi bagian dari pembunuhan karakter dalam kerukunan atau ketenangan keluarga. Bahkan diibaratkan dalam Al-Quran sebagai seorang yang ‘tega memakan daging bangkai saudaranya sendiri’. Namun sebenarnya penayangan infotainment dapat dibenarkan jika materi atau konten yang disajikan bukan merupakan hal-hal di atas yang kurang arif. Didesak banyak pihak dengan fatwa haram, Dewan Pers pun angkat bicara.  Lembaga yang mewakili pers ini pun menghimbau agar Lembaga Keagamaan dan Kemasyarakatan tidak mudah menetapkan larangan terhadap produk media massa tanpa melalui mereka. Sebab, ada yang mendasari pengaduan masyarakat terhadap kinerja wartawan dan infotainment,  yaitu kode etik jurnalistik serta Undang-Undang Pers. Jadi, jika ada aduan apapun, diharapkan bisa diawali dengan adanya surat protes ke Dewan Pers,  dan bukannya langsung mengeluarkan Fatwa.
Banyak yang tidak sependapat jika pewarta infotainment disebut sebagai wartawan. Saya boleh dibilang sependapat dengan pernyataan tersebut, karena pada dasarnya yang disebut wartawan adalah orang yang mencari data kemudian mengolahnya menjadi berita dan menyebarluaskan melalui media tertentu. Wartawan diwajibkan taat terhadap Kode Etik Jurnalistik. Yang saya temui, para pekerja infotainment sama sekali tidak memegang kode etik jurnalistik dalam kegiatan peliputan. Dimana pada kasus-kasus yang lalu para selebritis banyak yang mengadukan ke kantor polisi mengenai cara mereka menghimpun data dan wawancara. Kasar, memaksa dan tanpa kesopanan yang sering para selebritis rasakan terhadap perilaku para pekerja infotaiment. Wartawan sungguhan pada dasarnya kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pada kasus ciuman mesra Krisdayanti – Raul Lemos yang notabene adalah pasangan kekasih yang baru sama-sama mengakhiri pernikahan sebelumnya. KD (sapaan akrab Krisdayanti) dengan Raul Lemos yang belum terikat pernikahan dengan santainya melakukan adegan tersebut di depan para pekerja infotainment yang kemudian disiarkan tanpa ada sensor dan pemotongan gambar. Tapi setelah tayangan tersebut mendapat protes dari masyarakat, barulah ada pengurangan gambar. Tayangan infotaiment Silet pada peristiwa meletusnya gunung Merapi, mendapat protes kemudian dihentikan tayangan sementara sebagai tindakan menghukum program tersebut. Dan masih banyak lagi kasus lain yang seakan mengurangi kredibilitas dari seluruh program infatainment. Belum lagi dari masalah konten berita yang setiap munggunya berputar-putar dari satu program ke program lain. Tentu saja hal tersebut sudah dengan jelas menggambarkan bahwa dalam perjalanannya, infotainment telah mengabaikan Kode Etik Jurnalistik yang seharusnya menjadi pakem yang tidak bisa dihilangkan.
Dari berbagai kode etik yang ada. Dari fatwa haram MUI mengenai infotainment, sesungguhnya kita bisa lebih bijak untuk menyikapi tayangan Infotainment yang saat ini telah menjadi budaya baru yang tidak bisa dikatakan tidak diminati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar